Wednesday, October 19, 2011

Tentang Cinta

"Apa jadinya kalau kita berpisah dengan seseorang yang selama ini kita anggap sebagai belahan jiwa? Seandainya kita tahu siapa sesungguhnya jodoh kita. Seandainya kita tidak perlu memberikan seluruh hati pada orang yang salah. Seandainya tidak ada rasa sakit saat berpisah. Seandainya kita tidak pecah berkeping-keping saat kita ditinggalkan."

Aku tak menyadari sudah berapa lama aku berbaring disini. Termenung. Mungkin 2 jam? 12 jam? 2 hari? Yang pasti cukup lama untuk menghabiskan berliter-liter air mata. Masih terlalu jelas rasa sakit yang ku rasakan sejelas wajahnya yang terakhir ku lihat.

“Hmm, Dit. Bisa bicara sebentar?” tanyaku saat itu. Sebenarnya sulit untuk memulai ini. Tapi ini tidak bisa dibiarkan lagi. Aku bukan patung.
“Ya. Apa?” balasnya.
Aku mendesah, berharap aku akan kuat nantinya. “Aku udah mikirin tentang kita 2 bulan belakangan ini, mengevaluasi hubungan kita. Aku kecewa.” Kataku.
“Maksudnya?” Alisnya terangkat, tanda kalau dia sedang bingung.
“Kita putus saja. Kamu enggak perlu lagi berpura-pura. Aku udah lelah. Selama 2 bulan terakhir ini, seolah aku bukan lagi bagian dari hidupmu. Aku gak mau ada yang terpaksa disini. Kamu terlalu gak peduli, bahkan saat bicara pun……”
“Oke” dan dia pun berjalan tanpa mendengar kalimat terakhirku.

Tanpa sadar air mata ini kembali mengalir saat mengingat momen pahit itu. Saat ini ada sebuah kekosongan besar didalam hatiku. Huft.

Kriiiiiiiiiinnnnnnggggggggggg!!

Aku terkejut dengan bunyi handphone yang ku letakkan disamping tempat tidur. Dengan gontai aku mengambil dan melihat layar handphone ku.

“Woi, kemana aja sih? Dari tadi dihubungi kok enggak diangkat. Di sms gak dibalas. Kutungguin dari kemarin enggak nongol-nongol. Terus..” suara lengking Tanya mendesak masuk ke telingaku.
“Stooop. Arggh. Bisa gak sih kalau ngomong pelan-pelan. Aku dirumah. Sorry, janji kemarin aku lupa. Aku gak lihat hape dari kemarin. Maaf ya say” jawabku.
“Di, kamu kenapa? Kok suaranya kecut gitu sih? Berantam lagi dengan Radit?” Tanya kembali bertanya.
Yah, begitulah sahabat. Kadang nyelekit.
“Enggak kenapa-napa. Cuma mata bengkang, hidup tersumbat, hidupku kacau. Paling gak matahari masih muncul pagi ini”
“Ntar sore aku kesana, ceritain selengkap-lengkapnya. Hari ini aku bilangin kamu sakit deh ke pak bos kita. Oke. Istirahat ya. Jangan nagis lagi.” Balasnya.

Ternyata aku lupa kalau hari ini aku harus masuk kantor. Ini berarti benar-benar sudah dua hari aku begini, menatap kosong langit-langit kamar. Saat telpon ditutup aku bangkit, mandi, dan “ krrrrruuuukkk", pastinya, aku harus makan. Selama ini aku enggak sadar ternyata aku lapar, sampai suara perutku terdengar.



*to be continued*

No comments:

Post a Comment